 Moratorium pembangunan fasilitas pariwisata di Bali Selatan untuk nenekan alih fungsi lahan, rupanya tak mendapat tanggapan. Bahkan, sejumlah pejabat lebih melirik kebijakan ''meninggikan'' bangunan melebihi 15 meter sebagai alternatif untuk menekan alih fungsi lahan. Dalam raker pansus penyempurnaan RTRWP dengan bupati/wali kota se-Bali, di DPRD Bali, belum lama ini, terungkap usulan bahwa tinggi bangunan untuk zona tertentu boleh melebihi 15 meter.
ADA yang menilai pemikiran membolehkan bangunan melebihi 15 meter, sebagai bentuk memanjakan investor. Mereka rupanya masih mengesampingkan kondisi sosial utamanya kemacetan yang sudah makin akrab di Badung dan Denpasar. Mereka juga mengesampingkan bila ketentuan ketinggian bangunan tersebut diperbolehkan melebihi 15 meter di zona tertentu, maka ke depan akan banyak bermunculan zona ''tertentu'' yang juga menuntut dibolehkan bangunan pencakar langit. Kalau itu terjadi, apa yang menjadi keistimewaan Bali? Pengamat sosial budaya Unud Drs. I Wayan Geria menanggapi keras usulan tersebut. Menurutnya, bila ketentuan ketinggian bangunan tersebut diperbolehkan melebihi 15 meter di zona tertentu, dikhawatirkan ke depan estetika dan spiritual akan terganggu. Bali sebagai pulau kecil dan indah lama-kelamaan akan makin tenggelam. Ia pun mengingatkan, apa pun program yang mengarah untuk pembangunan Bali ke depan, harus tetap berpedoman pada filosofi Tri Hita Karana. Rektor Unud Prof. Dr. dr. I Made Bakta mengatakan, keinginan untuk mengubah kebijakan yang sudah tertuang dalam perda tersebut harus harus dikaji lebih mendalam. ''Untuk mengubah harus dilakukan pengkajian dengan melibatkan semua stakeholder,'' katanya. Bakta menyatakan bila aturan tersebut diberlakukan, tentunya akan menimbulkan dampak negatif, baik itu dari segi budaya maupun segi keselamatan dan fasilitas pendukungnya. Demikian pula dengan dibolehkan tinggi bangunan melebih 15 meter, secara estetika tidak akan ada bedanya dengan daerah lain. Demikian pula dengan bangunan yang bisa lebih banyak menampung orang, maka Bali khususnya Denpasar dan Badung akan makin macet. Karena lalu lintas orang akan makin banyak. ''Jangan sampai membuat bangunan tinggi tetapi di belakang hari akan timbul masalah, keributan akan terjadi di mana-mana,'' ingatnya. Sebelumnya, Bakta sempat mengatakan perda tentang tata ruang wilayah merupakan kebutuhan mutlak bagi Bali, karena melalui perda tersebut Bali bisa mengatur diri sendiri karena daya dukung alamnya yang sangat terbatas.
20 Tahun
Koordinator Pansus Penyempurnaan RTRWP Bali Ketut Suwandi, S.Sos. Jumat (11/11) kemarin mengatakan, untuk meloloskan ketinggian bangunan di atas 15 meter sebagai revisi perda sebelumnya diperlukan kajian matang dan panjang untuk menyusun ranperda yang baru. Ranperda ini baru disusun setelah pansus penyempurnaan RTRWP merekomendasikan pembahasan ketinggian bangunan di atas 15 meter untuk dibuatkan ranperda. Selain itu masih diperlukan ranperda zonasi untuk mengatur di wilayah mana saja dibolehkan bangunan di atas 15 meter itu. ''Masih banyak pertimbangan yang harus diteliti yang memerlukan kajian komprehensif dan matang. Semua ini diperkirakan memerlukan waktu 5-20 tahun,'' katanya. Ia beralasan, Bali yang sudah kecil kalau dibiarkan terus alih fungsi lahan pertanian yang 1.000 hektar per tahun, lahan pertanian akan habis. Kedua pertumbuhan penduduk yang amat pesat sampai 4 persen memerlukan permukiman, sehingga perlunya tambahan ruang baru yang menekan lahan sawah. Alasan tersebut dikemukakan pula pada rapat tim ahli tata ruang DPRD Bali. Dalam draf penyempurnaan Perda RTRWP pasal 95 ayat 2 poin 2 berbunyi bangunan gedung pada kawasan tertentu yang ditujukan untuk pusat pengembangan ekonomi dan pariwisata diperbolehkan memiliki ketinggian 15 meter dalam rangka efisiensi lahan pertanian dan menjaga kelestarian Bali. (bit/sua) |